Responsive Banner design

PANGGIL SAYA PAK HAJI!



Kajian kali ini, mari kita kupas masalah kebiasaan menyematkan gelar "Haji" atau "Hajjah" yang sering terjadi khususnya di negara Asia Tenggara (Indonesia & Malaysia). Apa yang boleh atau apa yang dilarang?

SYARAT DITERIMANYA IBADAH

Dalam melakukan ibadah, selain harus memenuhi syarat dan rukun ibadah itu sendiri, seseorang juga harus memperhatikan beberapa hal yang menjadi syarat atau penentu diterimanya ibadah itu. Setidaknya, ada dua syarat atau penentu diterimanya suatu ibadah. Pertama, dikerjakan dengan ikhlas. Kedua, dikerjakan dengan benar, yaitu sesuai dengan ajaran Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, atau dikenal dengan istilah mutaba'atur rasul.

Fudhail bin Iyadh rahimahullah mengatakan, "Amal ibadah itu jika dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar, tidak akan diterima. Dan apabila dikerjakan dengan benar, namun tidak ikhlas, tidak diterima pula. Sehingga ibadah itu dikerjakan dengan ikhlas dan benar."

Dalam hal ini, tak terkecuali ibadah haji. Sebagian orang merasakan begitu beratnya berlaku ikhlas dalam ibadah haji. Sebab, tidak seperti ibadah-ibadah lainnya, kebiasaan di negeri ini, jika seseorang telah melaksanakan haji, ia berpeluang mendapat gelar baru "H" atau"Hj" (Haji atau Hajjah) yang tertera di depan namanya. Karena ibadah haji dianggap sebagai suatu yang sangat istimewa di mata masyarakat umum, maka mereka berusaha mengagungkannya sebagai tingkat kemuliaan seseorang dengan gelar itu. Karenanya, bagi seseorang yang melaksanakan haji, jika tidak berhati-hati dengan niatnya, ia bisa terjerumus ke dalam riya dan kehilangan semua pahala hajinya.

Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda, yang artinya:
“Sesungguhnya amalan-amalan itu berdasarkan niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang ia niatkan, maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya maka hijrahnya adalah kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena untuk menggapai dunia atau wanita yang hendak dinikahinya maka hijrahnya kepada apa yang hijrahi”. (HR. Al-Bukhori: 1).

POTENSI MENJERUMUSKAN PADA KESYIRIKAN

Bagi seseorang yang pergi haji kemudian ingin dipanggil “Haji”, yang jelas dan telah dimaklumi bahwa panggilan “Haji” di sini mengandung pujian, apalagi kalau sampai dia sudah pergi haji dan tidak mau dipanggil kecuali dengan sebutan “Pak Haji”, hal ini membuka pintu-pintu riya’ dan sum’ah bagi dirinya. Di mana dia merasa hebat, merasa bangga, ‘ujub, merasa kagum dengan dirinya karena dia sudah melaksanakan haji, atau ingin diketahui orang-orang bahwa dia sudah haji. Ini semua merupakan wasilah yang bisa menghantarkan kepada kesyirikan.

Dari Mahmud bin Labid, Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Riya, Allah ‘azza wajalla berfirman kepada mereka pada hari kiamat saat orang-orang diberi balasan atas amal-amal mereka: Temuilah orang-orang yang dulu kau perlihat-lihatkan di dunia lalu lihatlah apakah kalian menemukan balasan di sisi mereka?” ( HR Ahmad-22528 ).

Menurut Ibnu Qayyim, riya dikategorikan syirik kecil karena telah mencederai keyakinan seseorang pada ‘iyyaaka na’bud’ ( hanya kepada Engkau saja kami menyembah ). Pada kata ‘iyyaka’ ( hanya kepada Engkau ) terkandung makna mengkhususkan penghambaan hanya untuk Allah ( takhsisul ubudiyyah lillah ), hal ini dirusak oleh sikap riya, karena Allah disekutukan dengan mengharap perhatian dan pujian dari makhluk. Allah tidak lagi dikhususkan dalam memohon harapan dan pujian serta perhatian.

Singkat kata, pelaku riya mengharapkan bagian dari ibadahnya untuk hawa nafsunya sehingga ibadahnya tidak lagi murni bagi Allah.

Perhatikan firman Allah yang memperingatkan dari bahaya riya’ atau ingin cari pujian manusia dalam firman-Nya:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu), niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)

Sementara pengertian sum’ah secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada manusia lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.

Dalam hadits Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam menjelaskan tentang sia-sialah amalan yang hanya ingin cari muka atau cari pujian manusia dalam sabdanya:
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim no. 2985).

Imam Nawawi mengatakan, “Makna hadits ini adalah bahwa Allah tidak peduli pada orang menyekutukan-Nya dalam ibadah dengan selain-Nya. Barangsiapa yang beramal yang dia tujukan untuk Allah dan juga untuk selain-Nya, maka Allah tidak akan menerima amalannya bahkan Allah akan meninggalkan dirinya jika ia bermaksud demikian. Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.” (Syarh Shahih Muslim, 18/116). Ini artinya, siapa yang berhaji namun hanya ingin cari gelar, maka amalannya bisa jadi sia-sia belaka. Ikhlaslah dalam beribadah pada Allah Ta’ala. Abul Qosim berkata, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, 50-51)

KENAPA HANYA HAJI YANG DIBERI GELAR?

Dalam rukun Islam, ibadah haji dilakukan jika mampu, berbeda dengan syahadat, sholat 5 waktu, zakat, dan puasa bulan Ramadhan. Sehingga haji itu kalah utama dibandingkan shalat 5 waktu, shalat 5 waktu jauh lebih utama dibandingkan haji. Zakat jauh lebih utama dibandingkan haji, puasa Ramadhan lebih utama dibandingkan haji. Akan tetapi seandainya gelar-gelar “Haji” disyari’atkan, kenapa hanya menggunakan “Haji” tidak sekalian “Shalat”? Misalnya dikatakan Haji Syaiful, kenapa tidak dikatakan Shalat Syaiful atau Zakat Syaiful, padahal shalat lebih utama dibandingkan haji. Ini tentunya karena adanya status tersendiri yang disandang oleh orang yang bergelar “Haji” ini. Kebiasaan menggelari seseorang dengan gelar-gelar seperti ini, baik dia masih hidup apalagi sudah meninggal, hendaknya ditinggalkan, karena ini cenderung memudhorotkan dirinya dengan terjatuh ke dalam riya’ atau sum’ah atau kejelekan-kejelekan yg lain.

TIDAK ADA SAHABAT RASULULLAH YANG BERGELAR HAJI

Jika kita menoleh ke zaman Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam, tidak seorang pun dari ratusan ribu sahabat beliau ataupun tabi’in (murid sahabat), tabi’ut tabi’in (murid dari murid sahabat) dan ulama-ulama Islam yang telah menunaikan ibadah haji yang menyandangkan gelar "Haji" di depan namanya. Kita tidak pernah mendengar H. Abu Bakar Ash Shiddiq, H. ‘Umar bin Khaththab, H. ‘Ali bin Abi Thalib, H. ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga tidak pernah mendengar H. Imam Syafi’i, H. Imam Ahmad. Bahkan selama ini, belum pernah didengar H. Nabi Muhammad.

Nah, Nabi saja tidak bergelar haji, apalagi kita ??

SEMBUNYIKAN AMALAN KEBAIKANMU

Amalan sholeh yang bisa disembunyikan lebih baik disembunyikan, tidak perlu seluruh dunia mengetahuinya dan tidak perlu ingin cari pujian orang. Rasulullah Shalallahu ’alaihi Wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka menyembunyikan amalannya.” (HR. Muslim no. 2965).

Basyr Al Hafiy mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?” Ibrahim An Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih yang seharusnya disembunyikan.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.” Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.” (Dinukil dari Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas).

HINDARI BERBURUK SANGKA

Namun sebagai muslim, kita diwajibkan Allah SWT untuk selalu berhusnudzdzan kepada sesama muslim. Sebab ada kalanya seseorang digelari haji bukan karena kehendaknya, tetapi karena kehendak masyarakat.
Imam Al Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila seseorang mencari pujian. Namun jika ia dipuji karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela.” Sehingga tidak selamanya seseorang digelari haji itu mengandung makna negatif semacam riya' dan sebagainya. Adalah kurang bijaksana bila kita langsung menggeneralisir setiap masalah dengan satu sikap. Semua perlu didudukkan perkaranya secara baik-baik.

Wallahu a’lam bish shawab.

Semoga Allah menganugerahkan kita sifat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan menjauhkan kita dari penyakit riya’ yang dapat menghapus amalan.
 
Semoga bermanfaat
Repost from:Pentingnya Ilmu Sebelum Beramal

Social Icons

Pages

HUBUNGI SAYA DI FB

Social Icons